Isi Surat Kartini Melebihi Isi Surat Cinta
Suatu kehormatan yang sangat luar biasa bagi saya berkesempatan membacakan isi surat dari Kartini dan ini pengalaman pertama kalinya yang terkeren di hari Kartini dalam hidup saya.
Surat Pertama Kartini
Jepara, 25 Mei 1899 | Kepada Estella H. Zeehandelaar
Surat Pertama Kartini
Jepara, 25 Mei 1899 | Kepada Estella H. Zeehandelaar
Saya ingin sekali berkenalan dengan "gadis modern", yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahgiaan sesama manusia.
Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan bahwa dalam pikiran dan perasaan, saya tidak turut menghayati zaman Hindia ini. Tapi, saya merasa hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan berkulit putih di Barat yang jauh.
Tetapi adat kebiasaan yang sudah berabad-abad, yang tidak dapat begitu saja dirombak, telah membelenggu kami dengan tangannya yang kuat. Suatu ketika tentulah tangan itu akan melepaskan kami. Tapi, saat-saat seperti itu nasih jauh tak terhingga jauhnya! Masa itu pasti datang, saya tahu. Tapi, mungkin baru tiga-empat keterunan sesudah kami. Aduh!
Bukan hanya suara dari luar saja, dari Eropa yang beradab yang datang masuk kehati saya, yang membuat hati saya menginginkan perubahan. Sudah sejak saya masih kanak-kanak, ketika kata 'emansipasi' belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, dan tulisan serta karangan mengenai hal itu jauh dari jangkauan saya, sudah timbul dalam diri saya keinginan yang makin kuat dan makin kuat. Yaitu, keinginan akan kebebasan, kemerdekaam, berdiri sendiri. Keadaan yang berlangsung disekeliling saya, yang mematahkan hati saya dan membuat saya menangis karena sedih yang tak terhingga, membangunkan kembali keinginan itu
Tapi, tentang hak itu untuk sementara sampai disini saja dulu..pada kesempatan lain akan saya sambung. Sekarang saya hendak menceritakan tentang diri saya, senbagai perkenalan. Saya anak perempuan sulung Bupati Jepara. Tepatnya anak perempuan yang ke-2. Saya punya 5 oarang saudara laki-laki dan perempuan. Almarhum kakaek saya, Pangeran Ario Tjondornegoro dari Demak, yang sangat menyukai kemajuan, adalah bupati di Jawa Tengan yang pertama membuka pintunya untuk tamu dari jauh seberang lautan, yaitu peradaban Barat.
Semua puteranya, yang hanya mengenyam pendidikan Eropa, merawarisi cintanya akan kemajuan dari ayah mereka. Dan mereka pada gilirannya memberikan kepada anaak-anak mereka pendidikan yang sama dengan yang dulu mereka nikmati. Kebanyakan saudara sepupu saya dan semua kakak laki-laki saya tamat HBS suatu lembaga pendidikan tertinggi yang ada di Hindia sini. Dan yang paling muda sari tiga kakak laki-laki saya, sejak 3 tahun lebih berada di Belanda untuk menyelesaikan pelajarannnya, yang 2 orang lainnya bekerja pada pemerintahan.
Kami, anak-anak perempuan yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pendidikan itu. Ketahuilah, adat negeri kami kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Dan, satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami hanyalah sekolah renda umum biasa untuk oran-orang Eropa. Pada umur 12 th saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk "kotak", saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar lagi selama belum berada disisi seorang suami, seorang laki-laki asaing sama sekali, yang dipilih orangtua tanpa setahu kami.
Suatu kebahagiaan besar bagi saya bahwa saya masih boleh membaca buku-buku Belanda dan berkirim-kiriman surat dengan teman-teman Belanda. Semua itu merupakan satu-satunya titik terang dalam masa yang sedih dalam suram itu. Dua hal tersebut bagi saya merupakan segalanya. Tanpa dua hal itu barangkali saya akan binasa atau bahkan lebih dari itu jiwa saya akan mati. Tetapi semangat zaman dimana-mana memperdengarkan langkahnya. Gedung-gedung tua yang kokoh megah, pilarnya menjadi goyah ketika zaman itu mendekat. Pintunya yang dpalang kuat-kuat meledak terkuak. Sebagian seakan terbuka sendiri, sedang lainnya dengan susah payah. Tapi pintu-pintu itu akhirnya akan terbuka juga, membiarkan masuk tamu yang tak disukainya.
Akhirnya, pada umur 16 tahun untuk pertama kalinya saya melihat lagi dunia luar. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Saya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas dan tidak tidak terikat pada seseorang suami yang dipaksakan kepada saya.
Tapi saya tidak puas, sama sekali masih belum puas. Lebih jauh, masih lebih jauh dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan perayaan, bukan bersuka-sukaan yang saya inginkan, yang menjadi tujuan keinginan saya akan kebebasan. Saya ingin bebas agar saya boleh dan dapat berdiri sendiri, tidak perlu tergantung pada orang lain, agar....agar tidak harus kawin!
Tetapi kami harus kawin, harus, harus! Tidak kawin adalah dosa, cela paling besar yang ditanggung seorang gadis Bumiputra dan keluarganya. Dan, mengenai perkawinan di sini, aduh, azab sengsara masih merupakan ungkapan yang terlalu halus untuk menggambarkannya. Bagaimana tidak, kalau hukumnya dibuat untuk orang laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk perempuan, kalu hukum dan pendidikan keduanya untuk laki-laki belaka?
Cinta?Apa yang kami tahu tentang cinta? saya belum mengatakan umur saya kepada saudara. Bulan yang lalu saya baru saja 20 tahun. Aneh, Bahwa ketika saya berumur 16 tahun saya memandang diri tua sekali dan kerap berhati murung. Dan sekarang setelah saya melampaui umur 20 th, saya merasa muda sekali dan penuh gaira hidup.
Panggil saya Kartini saja--itulah nama saya. Kami orang jawa tidak mempunyai nama keluarga. Kartini adalah nama keluarga dan sekaligus nama kecil saya. Dan mengenai Raden Ajeng, dua kata itu menyatakan gelar. Dan menulir 'nona' atau sejenis itu di depan nama saya, saya tidak berhak --saya hanya orang jawa.
Komentar
Posting Komentar